Rabu, 21 September 2011

pelangi sesudah hujan


Pelangi Sesudah Hujan

-Shiori's POV-
Putih... Terang... Bersih...
Ruangan yang telah kutempati sejak aku umur 5 tahun ini tidak pernah berubah sama sekali.
Tidak lupa, bau obat yang sangat kentara. Maklum orang berpenyakit sepertiku membutuhkan obat yang tidaklah sedikit.
"Shiori!"
Suara yang sudah kuhafal sejak 10 tahun yang lalu. Suara yang sudah kukenal sejak 10 tahun yang lalu juga. Bayangan rambut jabrik yang tinggi berada di balik tirai dan sedang berjalan mendekat ke arah kasurku yang tertutup tirai.
"Akito!" Sapaku.
Langkah kakinya yang besar membuatnya sampai ke kasurku dalam waktu singkat.
"Bagaimana kabarmu hari ini?"
Pertanyaan yang membuatku sedikit bosan. Setiap hari, dia datang dan menanyakan soal kabarku.
Aku bosan ditanya seperti itu.
"Apakah tidak ada yang lain yang ingin kau tanyakan?" Tanyaku.
Kata-kata barusan terlontar begitu saja. Aku segera menunduk begitu sadar aku telah mengatakan isi hatiku sendiri. Aku tidak berani menatap wajahnya. Kuyakin mukaku memerah.
"Apa kau merindukanku?" Tanyanya.
Setelah mendengar pertanyaan itu, aku segera tertawa terbahak-bahak.
"Tidak..." Kataku sambil tertawa.
Jujur saja, aku sangat menyukai sifatnya yang humoris ini.
"Hei! Coba tebak aku bawa apa hari ini?"
Nah, biar kuperjelas...
Namaku Fujikawa Shiori. Sejak umur 5 tahun, aku didiagnosis mengidap penyakit leukemia. Satu-satunya cara adalah dengan operasi. Apa yang harus dioperasi? Sumsum tulang belakang tentunya.
Nah, laki-laki yang ada di hadapanku saat ini bernama Akito Tanaka. Dia adalah satu-satunya teman yang berasal dari luar rumah sakit dan juga pacarku. Sifatnya yang ceria mengalahkan rasa sepi yang kuhadapi sehari-hari di kamar ini.
"Buku pelajaran?" Tebakku asal.
Dia juga selalu mengajarkan aku pelajaran yang baru saja diterimanya di sekolah.
Supaya aku tidak ketinggalan pelajaran. Karena satu alasan, aku juga tidak begitu ingat apa itu, aku tidak diperbolehkan keluar dari kamar ini. Maka, kadang kusebut rumah sakit ini sebagai tahanan.
Aku ingin secepatnya keluar.
"Lebih mengasyikkan daripada itu!" Kata Akito.
"Apa itu?" Tanyaku.
"Kau pernah dengar Sudoku?" Tanya Akito.
Aku segera menggeleng.
Aku yang terisolasi di rumah sakit ini, tidak pernah mengetahui dunia luar seperti apa, juga tidak pernah pacaran ke luar selain di rumah sakit ini. Rasanya kesal dan bosan. Aku juga ingin seperti remaja yang lain. Memakai seragam sekolah dan pergi ke sekolah dengan jalan kaki bersama Akito-kun, sambil menikmati cahaya matahari pagi. Atau mengendarai sepeda. Atau menikmati bunga Sakura yang berjatuhan setiap tahunnya. Tapi sayang, karena suatu alasan itu aku tidak bisa menikmati semuanya itu. Aku harus terisolasi di ruangan kecil dan putih ini.
Akito menyerahkan sebuah buku kuning bertuliskan Sudoku di sampul depannya.
"Bagaimana cara mainnya?"
Akito juga adalah guruku. Dia mengajariku tentang dunia di luar rumah sakit ini. Kadang aku terpikir apakah dia mengalami kesusahan yang berat karena memiliki pacar seperti aku.
"Mudah kok!" Katanya tersenyum.
Dia adalah orang yang pintar berbanding terbalik dengan sifatnya yang ceroboh.
"Ajari aku!" Kataku.
"Begini, aturan dasarnya sih... Kau tidak boleh memasukkan angka yang sama pada kolom dan baris yang sama... Kuberi contoh ya..." Katanya kemudian mengeluarkan kotak pensil dari ransel birunya.
Dia terlihat serius. Dalam waktu 2 menit 51 detik, dia berhasil mengerjakan satu soal sudoku ini.
"SUGOIIIIII!" Kataku bertepuk tangan.
"Siapa dulu donk?" Katanya tertawa.
Aku meninju pelan lengannya. Kemudian kami tertawa bersama-sama.
Beginilah hari-hari yang kuhabiskan di kamar ini... Dengan Akito di sampingku setiap harinya.
Sementara orang tuaku sibuk bekerja, mereka tidak sempat menengok anak yang penyakitan sepertiku. Banyak urusan bisnis yang mereka urus. Bahkan adikku yang tinggal di rumah saja kurang diperhatikan.
"Akito...ajari aku!" Kataku kemudian mengambil buku itu dari tangan Akito dan mengambil bolpen di laci di samping kasur.
Dia mengangguk dan tersenyum padaku, duduk di sampingku dan mulai mengajariku.
"Bagaimana sekolah hari ini?" Tanyaku.
"Hari ini ada seorang guru baru... Dia berasal dari rumah sakit ini... Kalau tidak salah asisten dokter terhebat di sini... Ah! Mungkin kau mengenalnya." Kata Akito setelah mengingat-ingat.
"Namanya siapa?" Tanyaku.
"Hoshino-sensei." Katanya.
Tentu aku kenal dia, dia baru dipindah seminggu yang lalu, tetapi dia belum pernah merawatku sebelumnya.
"Aku hanya tahu, tetapi tidak kenal." Kataku lalu kembali berkutat pada buku Sudoku yang ada di depanku.
"Oh... Kukira kau kenal." Katanya lalu berdiri dan melihat keluar jendela.
"Hei!" Katanya padaku.
Aku masih sibuk menulis.
" Shiori... Coba ke sini sebentar..." Katanya.
"Ada apa?" Tanyaku.
"Sini deh." Katanya.
Aku pun beranjak dari kasur dan menuju jendela besar yang berbingkaikan kayu.
"Coba lihat itu!" Kata Akito.
7 buah warna ada di langit. Mulai dari merah, kemudian jingga, kuning, hijau, biru, nila dan terakhir ungu.
"Wah! Indah sekali!" Kataku dengan tampang terpesona.
"Itu, namanya pelangi.." Katanya.
"Pelangi ya? Indah sekali..." Aku tersenyum melihat warna yang tersebar di langit sore itu.
"Pelangi muncul sesudah hujan..." Kata Akito tersenyum.
Pelangi itu menghiasi langit yang sebentar lagi berubah gelap. Pemandangan itu tidak bisa kulupakan.
"Ini pelangi pertamaku..." Kataku dengan nada melamun.
"Ada apa? Kau sepertinya kurang sehat..." Kata Akito lalu hendak memapahku kembali ke kasur. Mukaku yang pucat membuatnya khawatir.
"Aku tidak apa-apa." Kataku sambil berjalan ke arah kasur sendiri.
BRAK!
" Shiori-chan!"
Aku terdiam.
Astaga! Bahkan, jalan dengan benar pun aku sudah tidak bisa.
Akito segera membantuku berdiri.
"Kau tidak apa-apa?" Tanyanya.
Aku mengangguk. Dia segera menggendongku ke kasur.
"Akito, aku tidak apa-apa kok." Kataku sedikit kaget dengan tindakannya.
"Kalau kau tidak bisa berjalan, biarkan aku yang menjadi kakimu. Kalau kau tidak bisa melihat, biarkan aku yang jadi matamu. Kalau kau tidak bisa mendengar lagi, biarkan aku yang jadi kupingmu, dan juga kalau tidak ada lagi yang kau punya, kau masih punya aku di sampingmu." Katanya sambil meletakkan aku di kasur secara perlahan.
Aku terdiam dan menunduk.
"Percayalah padaku, Shiori..." Katanya.
Aku terdiam lagi. Aku tidak tahu mau menjawab apa. Aku tidak mau menjadi bebannya.
"Maafkan aku ya Akito... Aku selalu merepotkanmu... Kadang kau membolos latihan sepak bola yang merupakan favoritmu hanya untukku." Kataku.
Akito terdiam.
"Kau... tahu darimana?" Tanyanya tergagap.
"Maafkan aku ya." Kataku.
Dia segera memelukku.
"Kau... jangan bicara lagi." Katanya.
"Seperti yang kukatakan padamu." Lanjutnya.
"Percayalah sepenuhnya padaku...Aku akan menjagamu." Katanya lagi.
Aku hanya bisa tersenyum.
"Kuanggap itu janji lho..." Kataku.
Dia tertawa dan mengeluarkan jari kelingkingnya.
Aku pun tersenyum dan mengeluarkan jari kelingkingku dan mengaitkannya ke jari kelingkingnya.
...
Suara burung yang merdu dari luar jendela. Cahaya matahari yang menyinari kamar menjadikan pagi hari itu indah. Bunyi trolley sarapan yang terdengar dari lorong serta perawat yang berhenti di kamar yang berbeda-beda. Aku masih tertidur lelap di kasurku.
SRAK...
Pintu kamarku terbuka. Aku bisa mendengar langkah kaki seseorang memasuki ruangan putih ini, tetapi aku tidak mendengar ada bunyi roda trolley yang bergesekkan dengan lantai. Apakah Akito?
Tidak... Dia tidak datang sepagi ini. Lalu siapa?
SRAK!
Wanita berumur 30 tahunan muncul di dekat kasurku. Untuk umurnya, wanita ini masih terlihat muda.
"Shiori... bangun... ada yang harus kubicarakan..." Kata wanita itu.
" Haruko-sensei." Kataku begitu melihat wanita itu dengan jelas.
"Kau tahu buruknya penyakitmu bukan?" Tanya Haruko-sensei.
Aku terdiam dan menunduk.
Apakah Haruko-sensei akan membahas soal itu lagi? Aku benar-benar tidak ingin mendengarnya untuk sekarang.
Aku tidak mau membahasnya sekarang.
Jangan hancurkan pagiku, kumohon.
"Bagaimana dengan usul dari kami? Apakah kau sudah pikirkan dengan matang?"
Terakhir kali dia datang, aku menolaknya mentah-mentah.
"Operasi ini aku yakin bisa berhasil." Kata Haruko-sensei.
"Aku tidak yakin." Kataku mengalihkan pandangan.
Aku takut membahas soal yang menyangkut umurku yang semakin hari semakin pendek.
Aku takut tiada lagi hari esok untukku. Aku takut akan kematian yang mungkin menimpaku.
Maksudku, semua manusia juga akan mati... semuanya tapi tidak dengan cara seperti ini.
Rasanya kalau mati di meja pemotongan itu tidak wajar. Aku ingin mati secara alami.
Meja pemotongan dengan bau yang tidak kukenal. Aku akan mati dengan pisau-pisau yang memotong bagian-bagian badanku.
Tidak... Aku tidak menginginkan ini...
"Aku tidak mau..." Kataku.
"Kau tahu, kau bisa mati Shiori." Kata Haruko-sensei terlihat khawatir dan panik.
"Aku tahu, tapi apa bedanya dengan mati di meja operasi... di tanganmu?"
PLAK!
Haruko menamparku setelah aku berkata seperti itu.
"Serendah itukah aku? Sebodoh itukah aku?" Tanya Haruko terlihat marah dan tersinggung.
"Aku hanya ingin mati alami." Kataku singkat.
Aku tidak berani melihat matanya. Dia sangat seram ketika marah.
"Kau jangan bodoh!" Kata Haruko geram.
"Kau harus melihat kenyataan, Shiori." Kata Haruko memegang pundakku.
Aku tidak mau dioperasi karena...
"Walau persentase operasi ini kecil, tapi kuyakin kau bisa selamat dengan operasi ini." Lanjut Haruko.
"Aku menolak!" Kataku.
"Shiori!" Haruko terlihat pusing dan kesal dengan pernyataanku kemudian melepaskan tangannya dari pundakku.
Hebat! Dengan ini, pagi indahku dirusak dengan pembahasan soal masalah ini.
"Bisa kau tinggalkan aku?" Tanyaku melihat ke luar jendela.
Haruko hendak mengatakan sesuatu tetapi tidak jadi.
Suasana sangat tidak enak saat itu.
Haruko terdiam lalu melangkah ke luar pintu dan menggeser pintu dengan kasar. Dan pintu pun tertutup.
Tak lama kemudian, pipiku terasa panas.
Perasaanku bingung dan cemas.
Aku ingin tapi juga tidak. Aku takut.
Tak tertahankan lagi, air mataku pun turun.
Aku menangis dalam keheningan pagi, dalam keheningan ruang itu.
Banyak ketakutan yang kualami. Sulit sekali bagiku untuk mengatasi ketakutan-ketakutan itu.
Karena ketakutan yang kualami, bukan ketakutan terhadap hantu, bukan ketakutan terhadap binatang, tetapi ketakutan yang berhubungan dengan hidup matinya diriku.
Tentu saja aku sangat takut. Aku hanya bisa menangis dalam kebingungan.
Tuhan... apa yang harus kulakukan?
...
Setelah debat dengan si dokter, waktu kuhabiskan dengan membaca majalah yang diberikan seorang perawat tadi sehabis membereskan sarapanku.
Tak terasa siang pun sudah tiba. Raja siang sudah mencapai puncaknya. Ruangan itu pun terasa panas walau dengan pendingin ruangan menyala.
"SHIORIII!"
Suara Akito terdengar dari lorong. Aku sedikit terlonjak mendengar teriakan itu.
Dia berteriak lebih keras daripada biasanya. Aku hanya tersenyum.
Apakah aku bisa mendengar suara teriak ini lagi? Apakah aku masih bisa menikmati kencan di luar rumah sakit bersama dengan laki-laki yang aku sayangi itu? Apakah aku masih punya waktu yang banyak? Waktu yang cukup untuk menikmati hidup yang menyenangkan. Rasanya waktuku habis dan semakin pendek setiap harinya.
Rambut kuning jabriknya muncul di ambang pintu.
"Untuk apa kau berlari-lari? Seperti kesurupan sa..."
Dia segera berlari memelukku sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
"ja..." Lanjutku.
"Apa benar?" Tanyanya.
"Apanya?" Tanyaku.
"Apa benar?" Tanyanya.
Bisa kurasakan dia gemetar. Apa yang menyebabkan dia seperti ini?
"Apanya?" Tanyaku lagi.
Dia terdiam.
"Lakukan operasi itu..." Katanya.
Gantian aku yang terdiam.
"Kau...tahu darimana?"
Aku tergagap. Aku sangat kaget. Darimana dia tahu? Apakah sewaktu ke sini dia dicegat Haruko?
Ataukah... apa yang menyebabkan ia tahu? Bagaimana bisa?
"Tidak penting aku tahu darimana..." Katanya.
"Tapi lakukan operasi itu." Katanya lagi.
"Kau..." Kataku.
Air mata mulai membasahi pipiku lagi.
"Seolah-olah operasi itu mudah sekali dilakukan!" Kataku mendorongnya.
"Kau mengatakan itu seolah-olah pisau yang memotong itu akan tetap membuatku hidup dan menghindarkanku dari kematian..." Kataku menunduk.
"Kau tahu... aku sangat ketakutan." Kataku lagi.
"Kau tidak tahu rasanya, karena kau tidak mengalaminya." Kataku geram.
"Operasiku... kemungkinan berhasil hanya 10% tahu!" Kataku sambil menangis.
Akito melongo mendengar pernyataanku barusan.
"AKU TAKUT, BODOH!" Kataku menangis terisak-isak.
Akito segera memelukku lagi.
"Aku tahu kau takut..." Katanya.
"Lalu kenapa kau menyuruhku demikian?" Bentakku kesal.
"Kau tahu tidak... aku sedang berjudi dengan Tuhan..." Katanya.
Aku melongo.
"Aku berjudi dengan takdir..." Katanya lagi.
Aku terdiam.
"Aku hanya ingin kau selamat. Sekecil apapun persentasenya, aku yakin kau akan selamat." Katanya tersenyum.
"Darimana kau mendapatkan percaya diri sebesar itu?" Tanyaku mengernyitkan dahi.
Sulit dipercaya, dia memperbolehkan aku untuk operasi tanpa beban sama sekali.
"Kau tahu, kita mungkin akan berpisah untuk selama-lamanya setelah aku melakukan operasi itu..." Kataku.
"Aku tidak menginginkan itu!" Kataku.
"Aku menginginkan waktu sebanyak-banyaknya denganmu." Kataku.
"Lalu, apakah satu tahun itu waktu yang banyak untukmu?" Tanya Akito.
Aku terdiam.
Tidak... Satu tahun itu akan sangat cepat.
"Lihatlah, kau tidak bisa jawab..." Katanya.
"Lakukan operasi itu..." Katanya setelah di ruangan itu hening.
Aku terdiam lagi.
Apa yang harus kulakukan Tuhan? Aku sendiri sangat takut. Tapi bahkan orang yang disampingku terlihat tenang-tenang saja ketika aku harus dibelek dan dioperasi. Apakah aku harus bersikap demikian juga?
Dia melepaskan pelukannya dan menatapku dalam-dalam.
"Ingatkah kata-kataku kemaren?" Tanyanya.
Aku mengangguk.
"Aku mengatakan supaya kau percaya padaku, bukan?" Tanyanya.
Aku mengangguk lagi.
"Nah, percayalah padaku." Katanya.
"Apa kau tidak takut maut memisahkan kita?" Tanyaku.
"Aku tidak takut. Kan sudah kubilang aku sedang berjudi dengan takdir... Dan aku yakin... Aku akan menang dengan membiarkanmu melakukan operasi itu." Katanya.
Senyum pun berkembang di mulutku.
Entah mengapa, tiba-tiba rasanya badanku jadi ringan, bebanku terasa terangkat. Begitupun ketakutan yang mendalam, menguap begitu saja. Aku pun segera mengambil keputusan.
"Baiklah...Aku akan mengambil operasi itu.." Kataku.
" Haruko-sensei!" Akito berteriak.
Sedari tadi, ternyata Haruko-sensei berada di balik pintu kamarku.
"Jadwal operasimu besok!" Katanya dengan tegas.
...
-THE NEXT DAY-
...Tepat Sebelum Operasi, Sorenya...
Aku masih menunggunya datang sebelum operasi.
Dia janji akan datang melihatku sebelum operasi. Kali-kali ini pertemuanku yang terakhir dengannya. Aku terdiam, sesekali menengok ke arah jam.
Perawat sudah memanggilku untuk yang ke lima kalinya. Tetapi aku memaksa untuk menunggu sebentar. Kuharap, cepatlah datang Akito!
"Maaf aku terlambat." Katanya muncul di ambang pintu.
Nafasnya tersengal-sengal.
"INI!" Katanya memberikanku jimat keberuntungan.
"Kau berlari dari kuil untuk mendapatkan ini?" Tanyaku setelah melihat jimat itu.
"Bukankah ini jimat supaya lulus ujian?" Tanyaku.
Dia menggeleng.
"Ini digunakan untuk keberuntungan!" Katanya.
Beberapa saat, kami sama-sama terdiam.
"Kau... pasti menungguku kan?" Tanyaku.
Dia terdiam sebentar dan melihatku, tersenyum dan mengangguk.
"Tentu." Katanya.
"Bisa... kau peluk aku sekali?" Tanyaku.
"Jangan, nanti kau kotor lho! Sebelum operasi, kau harus bersih!" Katanya.
"Kita foto dulu yuk!" Kataku.
"Sebelumnya, kita belum pernah foto!" Kataku.
"Aku gak gila foto..." Katanya.
"Apalagi aku." Kataku.
"Sudahlah... Cepat!" Kataku.
"Iya, iya..." Katanya dan duduk di sampingku.
Kemudian kami berpose berkali-kali, dan terakhir Haruko-sensei muncul di ambang pintu.
"Kau ini! Kau pikir aku tidak sibuk!" Marah Haruko.
Aku nyengir.
"Hmm.. mungkin ini.. saatnya kukatakan... Sampai jumpa?" Kataku.
Akito tersenyum dan mengangguk.
"Sampai jumpa..." Katanya.

...
"Ambilkan gunting!" Kata Haruko-sensei sambil menuangkan cairan coklat sebelum operasi.
"Ambil juga pisau." Kata Haruko-sensei.
"Kita mulai setelah dia tidur..." Kata Haruko-sensei.
"Shiori-chan, masih bisa mendengarku?" Tanya Haruko.
Aku mengangguk.
"Hitunglah satu sampai sepuluh ya." Kata Haruko.
"Satu..." Aku mulai menghitung.
"D..Dua..."
Pandanganku mulai kabur.
"Tiga..."
Rasanya kepalaku berat sekali, seperti ingin tidur.
"Em..."
"pat..."
Berat sekali untuk melanjutkan menghitung.
"lim..."
...
"Ambilkan aku jarum dan benang..." Kata Haruko.
"Tolong lapkan keringatku." Kata Haruko sambil menghadap ke kiri, meminta salah seorang perawat mengelap keringatnya yang bercucuran.
Tangannya yang penuh darah tidak bisa sembarangan mengelap keringat.
Wajar saja. Dia sudah bekerja selama 5 jam di ruang operasi yang panas itu.
...
"Sekarang tinggal tunggu dia siuman..." Kata Haruko dan melepas sarung tangan, baju, dan topi operasi.
"Bawa dia kembali ke kamarnya." Kata Haruko lalu duduk di luar ruang operasi.
Sementara para perawat yang lain membersihkan ruang operasi.
"Operasinya berhasil..." Kata Haruko menoleh ke arah Akito yang duduk di sampingnya.
Akito tersenyum lega.
"Arigato..." Katanya.
"Mungkin ini saatnya kau pergi..." Kata Haruko.
"Kau bisa serahkan dia pada kami sekarang. Pergilah dengan tenang,,, Akito..." Kata Haruko.
...
"Aku harus pergi, Shiori..." Kata Akito.
Apakah ini di surga? Sampai Akito berkata seperti itu?
Apakah aku sudah mati?
Apakah aku berada di dunia yang berbeda dengannya sekarang?
"Kau pergi ke mana?" Tanyaku.
"Kau janji akan menemaniku!" Kataku.
Aku terdiam melihatnya semakin menjauh. Rasanya badanku tidak bisa bergerak lebih jauh ke arah kakinya melangkah. Kakiku terpaku. Sementara Akito terus melangkah pada cahaya putih di depan.
"Operasiku berhasil lho!" Kataku tanpa tahu sebenarnya berhasil atau tidak.
Aku hanya ingin dia berbalik dan melihatku.
"Jaga dirimu baik-baik ya." Kata Akito lalu menghilang di depan mataku, seperti termakan oleh cahaya itu.
"Hiduplah..." Suara Akito terngiang-ngiang di telingaku.
Aku menutup mata dan membuka mata.
"Tersenyumlah..." Seolah-olah dia berada di sampingku.
Aku menutup telinga.
"Kembalilah, Akito!" Air mata mulai membasahi pipiku lagi.
"Tersenyumlah...Shiori..."
"JANGAN TINGGALKAN AKU!" Teriakku.
"Jangan..."
...
"Jangan...Jangan..."
"Shiori...Shiori...Shiori..." Ibu menggerak-gerakkan badanku.
"Kau tidur terlalu lama nak..." Kata ibu.
Ibu? Aku mengucek-ngucek mata... Ibu?
Ibu segera memelukku.
"Operasimu berhasil nak!" Kata ibu.
Berhasil? Ah ya! Benar! Berhasil.
"Mana Akito?" Tanyaku langsung begitu melihat sekeliling, dan tidak ada Akito di antara mereka.
Semua segera menunduk. Ada juga yang meninggalkan ruangan.
Suasana apa ini? Tiba-tiba ada kedinginan yang menusuk. Seperti mengatakan aku tidak bisa melihat Akito lagi.
"Mana... Akito?" Aku kembali bertanya karena tidak ada yang menjawab.
Satu persatu orang pun mulai meninggalkan ruangan itu, tinggalah ibu dan Haruko-sensei.
"Apa yang terjadi?" Tanyaku.
"Akito..." Ibu terdiam sejenak.
"Biar aku yang lanjutkan..." Kata Haruko, kemudian memberi tanda supaya ibu meninggalkan ruangan itu.
Ibu pun meninggalkan ruangan itu dan meninggalkan kami berdua.
Aku mempunyai firasat yang tidak baik. Sesuatu yang buruk pasti telah menimpa Akito.
Tapi apa itu? Perasaan tidak enak ini terus mengganggu.
" Akito..." Haruko terdiam lagi.
Aku mendengar dengan saksama.
"tertabrak truk ketika berlari ke rumah sakit untuk membawakanmu jimat keberuntungan itu..."
Air mata segera membasahi pipiku.
Dunia serasa berhenti berputar. Rasanya hatiku hancur berkeping-keping. Dunia seperti mau runtuh.
"La...la...lu?" Bahkan sulit sekali menemukan suaraku.
Tidak...ini tidak mungkin... Akito... Kau janji untuk selalu menemaniku bukan?
Kau tidak meninggalkanku bukan?
"Dia..." Haruko berhenti sejenak.
Aku tidak sanggup mendengarnya. Kumohon jangan katakan itu... Jangan katakan kata itu.
Hentikan... Kumohon hentikan!
"tewas di tempat..." Lanjut Haruko.
Badanku kaku tiba-tiba. Untuk menggerakan tangan saja sulit sekali.
Aku menutup mulutku yang menganga.
Tidak... ini tidak mungkin.
Nyut... nyut.. nyut..
Sakit...
"AKITOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!"
Aku menangisi kepergian yang terlalu tiba-tiba itu. Aku kaget, bercampur kesedihan yang mendalam. Tiada lagi selain dia.
"Shiori..."
Haruko segera memelukku.
"Lepaskan aku!" Aku meronta-ronta.
Aku menangis sekeras-kerasnya.
Aku tidak akan bisa melihat dia lagi. Aku tidak bisa lagi melihat senyumnya.
" Shiori!"
Tidak bisa lagi mendengar suaranya.
Bulir-bulir air mata terus membasahi pipiku.
Aku tidak bisa lagi memegang tangannya. Tidak ada lagi pelajaran yang menyenangkan. Tidak ada lagi... Ya... Dunia ini... Entah bagaimana aku menghadapi ke depannya.
...
-5 years later-
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Sekarang umurku sudah 20 tahun.
Aku mengambil jurusan kedokteran di bawah bimbingan Haruko-sensei dan perawat senior lainnya.
"Shiori..." Haruko memanggilku yang sedang menghadap ke jendela.
Di luar sedang hujan deras. Aku senang sekali melihat hujan yang berjatuhan dari atas sana.
"Ya?" Sahutku tanpa memalingkan pandangan.
"Kau tahu kenapa Akito bisa tahu soal operasi itu 5 tahun yang lalu?" Haruko mendekatiku dan berdiri tepat di sampingku.
Aku menggeleng.
"Berkat dia kau bisa hidup..." Lanjut Haruko.
"Ya...ya... Dulu aku sangat bodoh, karena tidak mengambil operasi itu. Untung ada dia." Kataku tersenyum.
Haruko mengangguk-angguk.
"Oh, iya... Lanjutkan omongan sensei yang barusan... kenapa ia bisa tahu?" Tanyaku sedikit penasaran, karena 5 tahun lalu aku tidak membahas apapun soal itu.
"Dia kuberitahu." Kata Haruko-sensei.
"Sudah kuduga." Kataku kemudian berdeham.
"Aku belum selesai." Kata Haruko.
Aku menengok dan menunggu kelanjutan ceritanya.
"Dia kuberitahu bahwa kau tidak mau melakukan operasi dan juga satu hal lagi." Kata Haruko.
"Dan apakah itu?" Tanyaku kembali melihat keluar.
"Bahwa waktu aku menanyakan soal operasi itu, aku belum mempunyai sumsum tulang belakang yang cocok denganmu." Katanya lagi.
Sepertinya aku tahu kelanjutan ceritanya. Aku tidak mau tahu lagi. Sebaiknya kau berhenti, sensei.
Aku terdiam.
"Jadi... operasi 10% itu karena sumsum tulang belakangnya tidak terlalu cocok?" Tanyaku to the point.
Haruko mengangguk.
"Lalu, datanglah dia ke ruangku..."
Aku mengernyitkan dahi.
"Dia?" Tanyaku.
" Akito." Jawab Haruko.
Aku hanya mendengarkan, tidak berkomentar. Tak satupun kata keluar dari mulutku.
"Dia meminta aku untuk mengecek apakah sumsum tulang belakangnya cocok denganmu." Haruko menatapku.
"Dan?" Tanyaku merespon.
"Cocok." Jawab Haruko.
"Itu menaikkan persentase operasi menjadi 30%." Tambah Haruko.
"Sebesar itu kah?" Tanyaku tidak menyembunyikan kekagetan yang muncul.
"Lalu, bagaimana dia tahu?" Tanyaku.
"Dia mencuri dengar waktu kita membicarakan soal operasimu di pagi hari." Kata Haruko.
"Setelah itu, dia datang ke kantorku setelah mencuri dengar, dan selanjutnya seperti yang sudah kuceritakan." Lanjut Haruko.
Aku terdiam.
Suasana menjadi hening sejenak.
"Lalu..."
Sulit sekali menemukan suaraku di saat itu. Aku ingin tahu. Tapi tidak ingin juga.
Kenyataan yang tidak ingin kudengar adalah...
"Sumsum tulang belakang yang ada di tubuhku sekarang ini adalah milik... A... Akito?" Tanyaku tergagap.
Haruko terdiam sebentar dan mengangguk.
Aku segera merosot ke lantai. Lagi-lagi air mataku turun.
Tanganku menutupi mulutku.
"Jadi, kau tidak pernah meninggalkanku..." Kataku.
Teringat lagi janji yang terucap 5 tahun yang lalu.
"Kau, menepati janjimu..." Kataku tersenyum.
Hujan di luar sudah reda.
Pemandangan pertama yang kulihat 5 tahun yang lalu terulang lagi.
Tujuh warna yang bertebaran di langit atas sana.
Apakah kau melihatnya juga, Akito?
Selama ini, kau selalu bersamaku ya. Maafkan aku membencimu setelah kematianmu.
Aku mengeluarkan foto yang selalu kubawa kemana pun kupergi.
Foto 5 tahun lalu, foto pertama dan terakhirku bersamanya.
" Akito... Arigatoo..." Aku tersenyum.
~The End~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar